Rabu, 10 Februari 2010

Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.

Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.

Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).

Hutan jati yang diteres, siap ditebang, di KPH Bojonegoro

Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.

Pada 2001, pemerintah mengubah Perhutani dari bentuk Perum menjadi PT (Perseroan Terbatas), yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Berbagai pihak yang berkepentingan menyatakan keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya.

Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.

Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan propinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.


Kehancuran hutan jati di Jawa

Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektar (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.

Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.

Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.

Tahun,, Besar Kerugian Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah // Tahun 1999 : 3.179.973 Pohon , Rp.55.851.084.000 // Tahun 2000 : 2.574.948 Pohon , Rp.569.757.232.000 // Tahun 2001 : 2.675.161 Pohon , Rp.613.924.367.000 // Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)

Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan Perhutani dianggap ikut menjarah lahan Perhutani. Sejumlah pihak, sebaliknya, bernalar bahwa penjarahan sedemikian luas tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sejumlah aparat negara.

Sebagian pihak lain berpendapat bahwa penjarahan hutan Perhutani pada waktu itu dapat dimaklumi. Masyarakat desa hutan perlu memperoleh dana secara cepat setelah tertimpa krisis ekonomi pada 1997. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat dan membutuhkan kayu jati dalam jumlah sangat besar. Industri mebel kayu di Jawa pada saat itu juga sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Beberapa rimbawan bahkan berpandangan bahwa penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, para penjarah hutan —siapa pun mereka— memanfaatkan kesempatan.

Padahal, pengambilan kayu dari hutan jati di Jawa itu tak dapat diimbangi oleh kecepatan hutan jati untuk tumbuh berkembang. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menebang satu pohon jati. Satu pohon jati itu membutuhkan sekurang-kurangnya belasan tahun untuk tumbuh sebelum penebangan.

Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.

Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekedar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.


Pengelolaan hutan jati oleh masyarakat

Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.

Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan. Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.

Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.

Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar