Rabu, 10 Februari 2010

Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014

10/02/2010 11:14

Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disusun berdasarkan kondisi saat ini dan permasalahan serta isu-isu strategis dalam pembangunan kehutanan ke depan. Dalam Renstra ini disusun formulasi visi dan misi Kementerian Kehutanan dalam lima tahun kedepan yang merupakan acuan dalam menetapkan tujuan, sasaran strategis, kebijakan prioritas, program dan kegiatan serta indikator kinerja.

Hutan rakyat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Hutan jati rakyat di Girisekar, Panggang, Gunung Kidul

Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara.

Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam.

[sunting] Macam Hutan Rakyat

Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:

  1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.
  2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
  3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.

Namun kini ada pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan. Yakni model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.

[sunting] Produk-produk Hutan Rakyat

Hutan rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri.

Hutan damar mata-kucing (Shorea javanica) di Krui, Lampung Barat

Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan --atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan-- ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil hutan non-kayu (HHNK). Bermacam-macam jenis getah dan resin, buah-buahan, kulit kayu dan lain-lain. Bahkan kemungkinan aneka rempah-rempah yang menarik kedatangan bangsa-bangsa Eropah ke Nusantara, sebagian besarnya dihasilkan oleh hutan-hutan rakyat ini.

Belakangan ini hutan-hutan rakyat juga dikenal sebagai penghasil kayu yang handal. Sebetulnya, semua jenis hutan rakyat juga menghasilkan kayu. Akan tetapi pada masa lalu perdagangan kayu ini ‘terlarang’ bagi rakyat jelata. Kayu mulai menjadi komoditas diperkirakan semenjak zaman VOC, yakni pada saat kayu-kayu jati dari Jawa diperlukan untuk membangun kapal-kapal samudera dan benteng-benteng bagi kepentingan perang dan perdagangan. Pada saat itu kayu jati dikuasai dan dimonopoli oleh VOC dan raja-raja Jawa. Rakyat jelata terlarang untuk memperdagangkannya, meski tenaganya diperas untuk menebang dan mengangkut kayu-kayu ini untuk keperluan raja dan VOC.

Monopoli kayu oleh penguasa ini dilanjutkan hingga pada masa kemerdekaan. Di Jawa, hingga saat ini petani masih diharuskan memiliki semacam surat pas, surat izin menebang kayu dan surat izin mengangkut kayu; terutama jika kayu yang ditebang atau diangkut adalah jenis yang juga ditanam oleh Perum Perhutani. Misalnya jati, mahoni, sonokeling, pinus dan beberapa jenis lainnya. Di luar Jawa, setali tiga uang. Hak untuk memperdagangkan kayu sampai beberapa tahun yang lalu masih terbatas dipunyai oleh HPH-HPH, sebagai perpanjangan tangan negara.

Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya:

Getah dan resin:

Hutan sengon juga menghasilkan salak pondoh; Leksono, Wonosobo.

Buah-buahan:

Rempah-rempah lain:

Hutan rakyat mahoni (Swietenia macrophylla) di atas tanah berbatu, Desa Sumberrejo, Batuwarno, Wonogiri

Kayu-kayuan:

Lain-lain:

Bentuk-bentuk adaptasi

Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.

Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai.

Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.

Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.

Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.

[sunting] Perkembangbiakan

Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.

Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.

Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.

Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.

Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.

[sunting] Suksesi hutan bakau

Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.

Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.

Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.

Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.

Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.

Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.

Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.

[sunting] Kekayaan flora

Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.

Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).

Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).

[sunting] Penyusun utama

Suku Genus, jumlah spesies
Acanthaceae (syn.: Avicenniaceae atau Verbenaceae) Avicennia (api-api), 9
Combretaceae Laguncularia, 11; Lumnitzera (teruntum), 2
Arecaceae Nypa (nipah), 1
Rhizophoraceae Bruguiera (kendeka), 6; Ceriops (tengar), 2; Kandelia (berus-berus), 1; Rhizophora (bakau), 8
Sonneratiaceae Sonneratia (pidada), 5

[sunting] Penyusun minor

Paku laut, Acrostichum aureum.
Suku Genus, jumlah spesies
Acanthaceae Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2
Bombacaceae Camptostemon, 2
Cyperaceae Fimbristylis (mendong), 1
Euphorbiaceae Excoecaria (kayu buta-buta), 2
Lythraceae Pemphis (cantigi laut), 1
Meliaceae Xylocarpus (nirih), 2
Myrsinaceae Aegiceras (kaboa), 2
Myrtaceae Osbornia, 1
Pellicieraceae Pelliciera, 1
Plumbaginaceae Aegialitis, 2
Pteridaceae Acrostichum (paku laut), 3
Rubiaceae Scyphiphora, 1
Sterculiaceae Heritiera (dungun)2, 3

Luas dan Penyebaran

Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.

Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).

Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.

Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.

[sunting] Lingkungan fisik dan zonasi

Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.

Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:

[sunting] Jenis tanah

Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.

Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

[sunting] Terpaan ombak

Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.

Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

[sunting] Penggenangan oleh air pasang

Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.

Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.

Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.

Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).

Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).


Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Sejarah Pengelolaan

Sejauh ini, sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Demikian pula, ketika itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pembuatan bangunan-bangunan, benteng dan kapal-kapal.

Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.


Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.

Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.

Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).

Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).

Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.

Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.

Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.

Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).

Hutan jati yang diteres, siap ditebang, di KPH Bojonegoro

Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.

Pada 2001, pemerintah mengubah Perhutani dari bentuk Perum menjadi PT (Perseroan Terbatas), yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Berbagai pihak yang berkepentingan menyatakan keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya.

Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.

Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan propinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.


Kehancuran hutan jati di Jawa

Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektar (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.

Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.

Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.

Tahun,, Besar Kerugian Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah // Tahun 1999 : 3.179.973 Pohon , Rp.55.851.084.000 // Tahun 2000 : 2.574.948 Pohon , Rp.569.757.232.000 // Tahun 2001 : 2.675.161 Pohon , Rp.613.924.367.000 // Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)

Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan Perhutani dianggap ikut menjarah lahan Perhutani. Sejumlah pihak, sebaliknya, bernalar bahwa penjarahan sedemikian luas tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sejumlah aparat negara.

Sebagian pihak lain berpendapat bahwa penjarahan hutan Perhutani pada waktu itu dapat dimaklumi. Masyarakat desa hutan perlu memperoleh dana secara cepat setelah tertimpa krisis ekonomi pada 1997. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat dan membutuhkan kayu jati dalam jumlah sangat besar. Industri mebel kayu di Jawa pada saat itu juga sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Beberapa rimbawan bahkan berpandangan bahwa penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, para penjarah hutan —siapa pun mereka— memanfaatkan kesempatan.

Padahal, pengambilan kayu dari hutan jati di Jawa itu tak dapat diimbangi oleh kecepatan hutan jati untuk tumbuh berkembang. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menebang satu pohon jati. Satu pohon jati itu membutuhkan sekurang-kurangnya belasan tahun untuk tumbuh sebelum penebangan.

Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.

Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekedar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.


Pengelolaan hutan jati oleh masyarakat

Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.

Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan. Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.

Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.

Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.


Hutan jati adalah sejenis hutan yang dominan ditumbuhi oleh pohon jati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di Jawa. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau Muna, Sumbawa, Flores dan lain-lain.

Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.

Jati jawa, asli atau introduksi? Para ahli (altona, 1922; Charles, 1960) menduga bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India pada akhir zaman hindu (awal abad X1V, hingga awal abad XVI). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999). Hipotesa introduksi jati dari india ke jawa sudah barang tentu sulit dihindari, mengingat sifat kayunya yang sejak ratusan tahun sangat dikenal, sehingga sudah barang tentu manusia sangat berperanan penting terutama dalam penyebarannya yang terbaru. Padahal menurut Peluso (1991), ketika pedagang belanda mendarat di jawa pada pertengahan abad XVII, mereka mendapati tegakan jati campuran atau bahkan tegakan jati hampir murni yang terbentang beratus-ratus kilometer di bagian tengah pulau jawa. Bila hipotesa introduksi jati dari india dibenarkan, maka introduksi tersebut telah berlangsung pada zaman yang lebih kuno, paling tidak sekitar abad VI, yakni ketika pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung sangat kuat. Namun tidak ada catatan sejarah yang menguatkan dugaan itu. Dipihak lain hipotesa introduksi jati dari India ke Jawa juga menimbulkan pertanyaan yang sulit dijawab terutama tentang diketemukannya populasi jati alam di beberapa pulau terpencil di Indonesia seperti di Madura, Muna, dan ketidakhadirannya di pulau pulau lain selain di jawa padahal pulau - pulau tersebut (Sumatera misalnya) juga berperan penting dalam jalur migrasi manusia antara India, Thailand, Cambodga, China, Jepang. Berdasar itu Gartner (1956) meragukan hipotesa Altona, demikian pula Troup (1921) yang cenderung mengganggap bahwa keberadaan jati di Jawa dan beberapa pulau di indonesia adalah alami.Penelitian Kertadikara (1992) yang mempelajari keragaman genetika beberapa populasi jati India, Jawa dan Thailand dengan menggunakan isoenzym serta data morfologi, menunjukkan bahwa populasi jati dari India memiliki struktur genetika sangat khas yang jauh berbeda dengan populasi jati Jawa dan Thailand. Sementara struktur genetika populasi jati Thailand lebih dekat dengan struktur genetika populasi jati Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama populasi jati India telah sejak lama terisolasi secara geografi dari populasi-populasijati lainnya. Kedua, bila hipotesa introduksi jati dari india ke Jawa dibenarkan, seharusnya akan terlihat kedekatan struktur genetika antara populasi Jawa dan India. Berdasar itu Kertadikara (1992)cenderung pada hipotesa migrasi alami jati dari pusat penyebaran alaminya di daratan asia tenggara (yang kemungkinan besar terletak di Myanmar), menggunakan pulau ke pulau yang menghubungkan daratan asia dengan kepulauan indonesia pada zaman pleistocene. Hubungan antra daratan asia dan kepulauan indonesia tersebut dimungkinkan akibat penurunan permukaan air laut sekitar 100 hingga 120 m lebih rendah dibanding permukaannnya sekarang. Sementara keberhasilan instalasi jati di jawa dan beberapa pulau lainnya tergantung sepenuhnya pada kebutuhan klimatik dan edafik, yang menyebabkan penyebaran alami jati bersifat terputus-putus.

Selasa, 09 Februari 2010

HTI

HUTAN TANAMAN INDUSTRI


II.3. PERKEMBANGAN HTI DEFINITIF

Jumlah HTI yang telah mendapatkan SKHPHTI Definitif sampai dengan Desember 1999 ada 98 unit dengan luas total 4.643.969 Ha. Sampai dengan Agustus 2000 ada 100 unit dengan luas total 4.753.134. Sampai dengan Maret 2001 ada 102 Unit dengan luas areal 4.801.851 Ha, dengan rincian per propinsi sebagai berikut :

No.

Propinsi

PULP

PERTUKANGAN (NON-TRANS)

PERTUKANGAN (TRANS)

Jumlah

Unit

Luas (Ha)

Unit

Luas (Ha)

Unit

Luas (Ha)

Unit

Luas (Ha)

1

A C E H

2

208.300

-

-

4

25.570

6

233.870

2

SUMUT

1

269.060

4

43.445

1

6.200

6

318.705

3

SUMBAR

-

-

1

28.617

1

6.675

2

35.292

4

R I A U

3

535.492

3

74.900

6

83.190

12

693.582

5

J A M B I

1

78.240

5

92.330

4

34.835

10

205.405

6

SUMSEL

2

340.100

1

40.000

-

-

3

380.100

7

LAMPUNG

-

-

4

149.067

-

-

4

149.067

8

KALBAR

2

412.896

1

56.060

8

111.130

11

580.086

9

KALTENG

2

166.880

-

-

8

120.095

10

286.975

10

KALSEL

1

268.585

2

26.635

3

37.040

6

332.260

11

KALTIM

5

793.237

7

258.529

10

159.789

22

1.211.555

12

SULSEL

-

-

1

29.000

1

13.300

2

42.300

13

SULTENG

-

-

1

10.041

1

13.400

2

23.441

14

SULTRA

-

-

1

37.845

-

-

1

37.845

15

M A L U K U

-

-

1

14.851

3

49.717

4

64.568

16

IRIAN JAYA

1

206.800

-

-

-

-

1

206.800

T O T A L

20

3.279.590

32

861.320

50

660.941

102

4.801.851

(Sumber : Ditjen Bina Produksi Kehutanan)
Areal Hutan Tanaman Industri yang terluas terdapat di Propinsi Kalimantan Timur dan yang terkecil adalah di Propinsi Sulawesi Tengah
.

II.4. LUAS AREAL HTI YANG DIKELOLA PT. INHUTANI I-V

Luas areal HTI yang dikelola oleh PT. Inhutani I s/d V seluas 3.663.520 ha terdiri dari :

  • Patungan seluas 3.163.089 ha

  • Swakelola seluas 500.431 ha

Luas areal HTI yang dikelola :

  • PT. Inhutani I mencapai 37%,

  • PT. Inhutani III sebesar 27% ,

  • PT. Inhutani lainnya dibawah 25%. dari total luas HPH yang dikelola PT. Inhutani I-V,

II.5. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Realisasi pembangunan hutan tanaman industri selama 5 tahun terakhir luasnya mengalami penurunan. Tahun 1998/1999 menurun 32% dari tahun 1997/1998. Tahun 1999/2000 menurun 24% dari tahun 1998/1999. Tahun 2000 (April s/d Desember 2000) menurun 42% dari tahun 1999/2000. Tahun 2001 (Jan-Sep) menurun sebesar 45% dari tahun 2000.

Menurut jenisnya pembangunan HTI terdiri dari HTI-Pulp, HTI-Kayu Perkakas, HTI-Trans, dan Tanaman Andalan. Selama periode 6 tahun terakhir penanaman HTI-Pulp luasnya paling besar. Pada tahun 1999/2000 luas HTI-Pulp 85.744 atau 60% dari total penanaman. Pada tahun 2000 HTI-Pulp 58.152 atau 73% dari total penanaman. Tahun 2001 HTI Pulp seluas 83% dari total penanaman.

No

Tahun

HTI Pulp
(Ha)

HTI Ky Perkakas
(Ha)

HTI Trans
(Ha)

Tanaman Andalan
(Ha)

Total Tanaman
(Ha)

1

1997/1998

100.883

38.181

39.003

88.542

266.609

2

1998/1999

82.604

22.840

29.526

45.536

180.506

3

1999/2000

85.744

24.448

27.301

***

137.493

4

2000 *

58.152

7.960

13.637

***

79.748

5

2001***

36.530

4.478

3.153

.

44.161

*) data April s/d Desember 2000 **) data Januari s/d Juli 2001
***) Tanaman andalan sudah termasuk dalam Hti-Pulp, HTI-Perkakas dan HTI Trans.

II.6. PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI MENURUT PROPINSI

Perkembangan penanaman Hutan Tanaman Industri dari tahun 1997/1998 s/d tahun 1998/1999 paling luas yaitu di propinsi Kalimantan Timur, sedangkan pada tahun 1999/2000 s/d 2001 penanaman HTI paling luas di propinsi Riau.

Berdasarkan kelompok pulau pada tahun 2000 penanaman di Sumatera mencapai 67,4%, Kalimantan 30,7%, Sulawesi 0,5% dan Maluku & Irja 1,4%. Tahun 2001 penanaman di Sumatera 57%, Kalimantan 30%, Sulawesi 1%, maluku & Irja 12%.

No.

Propinsi

Realisasi HTI

1997/1998

1998/1999

1999/2000

2000*

2001**

1

2

3

4

5

6

7

1

DI. Aceh

12.275

5.454

959

472

19

2

Sumatera Utara

7.887

5.196

2.358

1.022

391

3

Sumatera Barat

1.151

420

315

0

0

4

R I a u

52.613

34.199

51.014

29.429

18.007

5

J a m b I

19.027

13.260

23.007

16.294

7.936

6

Sumatera Selatan

6.144

4.994

4.085

6.431

1.581

7

Bengkulu

300

13

0

0

0

8

Lampung

1.500

2.744

0

92

580

9

Jawa Barat

0

0

0

0

0

10

Jawa Tengah

0

0

0

0

0

11

Jawa Timur

0

0

0

0

0

12

Kalimantan Barat

31.089

14.000

4.265

10.791

2.693

13

Kalimantan Tengah

20.621

11.976

5.854

2.351

3.769

14

Kalimantan Selatan

4.010

7.465

3.762

689

374

15

Kalimantan Timur

72.036

61.788

37.245

10.679

8.393

16

B a l i

0

0

0

0

0

17

Nusa Tenggara Barat

695

112

0

0

0

18

Nusa Tenggara Timur

1.309

0

0

0

0

19

Timor Timur

342

0

0

0

0

20

Sulawesi Selatan

1.518

605

225

22

22

21

Sulawesi Tengah

4.646

2.721

72

335

335

22

Sulawesi Tenggara

2.702

400

543

0

0

23

Sulawesi Utara

2.199

758

0

0

0

24

Maluku

11.847

7.535

3.789

1.140

60

25

Irian Jaya

12.698

6.866

0

0

5.909

J U M L A H

266.609

180.506

137.493

79.748

50.069

Sumber : Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi
Ket: * data April-Desember 2000, ** data Januari – Juli 2001

II.7. PEMBANGUNAN HTI LINGKUP PT. INHUTANI I TAHUN 2000


No.


Unit HTI

Luas Areal
(Ha)

Realisasi s/d 1999/2000

RKAP 2000 (Ha)

Target

Realisasi

1

2

3

4

5

6

I

HTI Swakelola

1

Long Nah Non Trans

46.295

24.083,20

3.000

3.461

2

Batuampar

16.521

7.224,43

1.100

1.440

3

Long Nah Trans

4.000

4.163,43

-

-

4

Melak

4.900

682,60

-

-

5

Gowa Maros

30.000

6.582,48

-

-

Jumlah I

101.716

42.736,14

42.736,14

4.901

II

HTI Patungan Non Trans

1

PT. Surya Hutani Jaya

183.300

96.449,00

10.000

6.346

2

PT. ITCI Hutani Manunggal

187.200

88.091,33

8.243

930

3

PT. Tanjung Redeb Hutani

180.330

68.148,35

15.452

8.536

4

PT. Adindo Hutani Lestari

233.244

27.065,27

9.500

631

5

PT. Kiani Hutani Lestari

53.083

33.113,50

-

3.955

6

PT. Sumalindo Hutani Jaya

86.810

11.792,30

915

980

7

PT. Fendi Hutani Lestari

89.300

7.665,91

-

-

8

PT. Intraca Hutani Lestari

42.050

4.088,38

2.000

676

Jumlah II

1.055.317

336.414,04

46.110

22.054

III

HTI Patungan Trans

1

PT. Anangga Pundinusa

30.100

9.521,53

2.000

359

2

PT. Berkat Hutan Pusaka

13.480

10.467,45

1.300

151

3

PT. Belantara Subur

16.475

7.072,06

1.326

1.134

4

PT. Hutan Mahligai

16.810

7.957,59

1.500

500

5

PT. Estetika Rimba

5.000

1.585,00

-

-

6

PT. Dirga Rimba

5.000

673,05

-

-

7

PT. Hutan Kusuma

20.000

5.375,85

500

396

8

PT. Bhineka Wana

12.200

4.970,91

1.000

259

9

PT. Belantara Persada

18.430

3.762,00

800

35

10

PT. Taman Hutan Asri

5.300

444,00

-

-

11

PT. Taman Daulat Wananusa

13.400

5.664,17

1.000

270

12

PT. Belantara Pusaka

15.610

9.192,90

1.800

569

13

PT. Kelawit Hutani Lestari

10.000

4.892,53

500

-

14

PT. Intan Hutani Lestari

17.550

1.763,86

700

-

Jumlah IV

199.355

73.342,90

12.426

3.673

Sumber : PT. INHUTANI I

II.8. PEMBANGUNAN HTI LINGKUP PT. INHUTANI II TAHUN 2000
(KEADAAN S/D DESEMBER 2000)

No.

Lokasi / Nama
Perusahaan

Luas Areal HPHTI

Realisasi Tanaman
S/d 1999

(Ha)

RKAP 2000 (Ha)

Target

Realisasi
Tanaman

1

2

3

4

5

6

A.

HTI Swakelola

1.

Senakin

34.000

24.722

2.674

6

2.

Semaras

50.000

12.639

2.025

798

3.

T. Grogot

10.800

9.551

1.000

254

Jumlah A

94.800

46.912

5.699

1.058

B.

HTI Patungan Non Trans

(Real 1998 & 1999)

.

.

1.

Menara Hutan Buana

125.000

30.000

-

-

2.

Wana Tanilestari

1.041

1.276

1.650

359

Jumlah B

126.041

31.276

1.650

359

C.

HTI Patungan Trans

(Real 1998 & 1999)

.

.

1.

Kirana Rimba

4.000

-

-

-

2.

Jenggala Semesta

12.380

1.163

-

-

3.

Hutan Sembada

10.260

1.416

-

-

4.

Kirana Chatulistiwa

14.400

1.647

1.500

1.342

5.

Kalpika Wanatama

19.665

2.895

-

-

6.

Kirana Cakrawala

21.265

2.228

1.300

534

7.

Jati Cakrawala

15.635

-

-

-

8.

Hutani Trans Kencana

9.300

-

-

-

Jumlah C

106.905

9.349

2.800

1.876

Sumber : PT. INHUTANI II

II.9. PEMBANGUNAN HTI LINGKUP PT. INHUTANI III TAHUN 2000
(KEADAAN S/D DESEMBER 2000)

No.

Unit Kerja

Luas
(Ha)
Realisasi Tanaman s.d. 1999
(Ha)

RKAP 2000 (Ha)

Target

Realisasi
Tanaman

1

2

3

4

5

6

I

HTI SWAKELOLA

1.

GM I Sampit

25.000

3.323,03

-

75,70

2.

GM II Muara Teweh

65.000

1.834,15

160

-

3.

GM III Nanga Pinoh

100.000

58.573,87

1.000

448,32

4.

GM IV Banjarbaru

30.000

24.769,03

500

400,00

Jumlah I

220.000

88.500,08

1.660

924,02

II

HTI PATUNGAN TRANS

1

Kusuma Puspa Wana

9.614

3.289,66

1.000

0,00

2

Rimba Equator Permai

17.068

6.477,32

800

0,00

3

Lahan Cakrawala

11.328

4.061,07

0

0,00

4

Lahan Mahkota

8.900

1.171,12

0

0,00

5

Lahan Sukses

14.600

2.063,45

0

0,00

6

Lembah Jatimutiara

16.800

1.560,50

800

0,00

7

Lingga Tejawana

13.600

1.292,57

0

0,00

8

Mayang Adiwana

8.060

1.267,26

750

0,00

9

Mayawana Persada

14.100

2.979,76

0

0,00

10

Meranti Delta

0

0,00

0

0,00

11

Meranti Laksana

17.300

2.661,33

0

0,00

12

Meranti Lestari

16.500

4.963,16

0

0,00

13

Rimba Dwipantara

9.930

1.139,97

800

0,00

14

Kusuma Perkasawana

11.300

5.340,90

0

0,00

15

Meranti Sembada

15.995

6.334,94

1.000

0,00

16

Parwata Rimba

11.450

5.187,27

1.000

36,63

17

Perintis Adiwana

19.100

6.523,49

750

464,58

18

Pola Inti Rimba

10.000

4.676,70

950

129,84

19

Pundiwana Semesta

11.000

5.051,09

600

116,25

20

Puspa warna Cemerlang

21.750

2.617,72

1.000

0,00

21

Rimba Argamas

9.300

2.781,77

500

1,45

22

Rimba Berlian Hijau

13.700

5.718,77

750

133,32

23

Wana Damai

4.500

1.453,00

0

0,00

24

Rimba Elok

18.820

5.043,07

750

87,89

25

Purwa Permai

20.500

6.379,26

1.500

0,00

Jumlah II

325.215

90.035,15

12.950

969,96

III

HTI PATUNGAN MURNI

1

Dwima Intiga

22.500

8.327,35

0

0,00

2

Finantara

299.700

25.270,83

12.000

920,60

Jumlah III

322.200

33.598,18

12.000

920,60

Jumlah II+III

647.415

123.633,33

24.950

1.890,56

Sumber : PT. INHUTANI III
Ket : * Dalam proses penggabungan dengan PT. Mayawana Persada

II.10. PEMBANGUNAN HTI PATUNGAN LINGKUP PT. INHUTANI IV TAHUN 2000
(KEADAAN S/D DESEMBER 2000)

No. Nama Perusahaan Luas Netto
(Ha)
Realisasi Tanaman s.d. 1999
(Ha)
Realisasi Tanaman 1999/2000
(Ha)

RKAP
2000 (Ha)

Target

Realisasi
Tanaman

1

2

3

4

6

7

8

I

HTI TRANS

1.

PT. Rimba Wawasan Permai

5.190

1.208

119

Akuisisi

16

2.

PT. Aceh Swaka W. Nusa P.

5.161

1.137

125

950

-

3.

PT. Rimba Penyangga U.

4.800

2.124

-

-

-

4.

PT. Rimba Timur Sentosa

5.268

2.832

55

Akuisisi

88

5.

PT. Rimba Seraya Utama

11.100

4.262

250

1.000

450

6.

PT. Rimba Peranap Indah T.

11.620

5.972

500

1.500

747

7.

PT. Nusa Wana Raya

21.500

5.797

879

1.000

355

8.

PT. Rimba Rokan Hulu

8.650

3.714

70

Beku Ops

-

9.

PT. Rimba Lazuardi

17.000

8.489

150

1.850

-

10.

PT. Rimba Swasembada S.

4.680

2.345

400

900

183

11.

PT. Sinar Belantara Indah

5.000

3.656

759

850

687

12.

PT. Gunung Medang Raya U.

5.000

2.868

-

100

-

13.

PT. Riau Abadi Lestari

11.228

9.547

1.470

1.600

195

Jumlah I

116.197

53.951

4.777

9.750

2.721

II

HTI NON TRANS

A.

HTI PULP

1.

PT. Tusam Hutani Lestari

75.250

12.520

884

1.350

736

2.

PT. Aceh Nusa Indrapuri

40.000

22.526

-

4.506

669

3.

PT. Sumatera Silva Lestari

39.465

-

-

6.107

4.622

Jumlah II A.

154.715

35.046

884

11.963

6.027

B.

HTI NON PULP

1.

PT. Hutan Barumun Perkasa

8.356

405

284

200

59

Jumlah II

163.071

35.451

1.168

12.163

6.086

Jumlah I + II

279.268

89.402

5.945

21.913

8.807

Sumber : PT. INHUTANI IV

II.11. PEMBANGUNAN HTI LINGKUP PT. INHUTANI V TAHUN 2000
(KEADAAN S/D DESEMBER 2000)

No. Nama Perusahaan Luas
(Ha)

Realisasi Tanaman

RKAP 2000 (Ha)

s/d
1998/1999
(Ha)

s/d
1999/2000
(Ha)

Target

Realisasi
Tanaman
Apr - Dec 2000

1

2

3

4

5

6

7

I

HTI SWAKELOLA

1.

HTI PT. INHUTANI V

56.547

37.138,53

38.051,53

2.374

2.167*)

Jumlah

56.547

37.138,53

38.051,53

2.374

2.167

II

HTI PATUNGAN TRANS

1.

PT. Wana Perintis

6.900

2.063,99

2.063,99

1.701

401,93

2.

PT. Wana Kasita Nusantara

9.030

3.756,98

4.425,98

1.394

1.077,59

3.

PT. Wana Teladan

9.800

3.268,66

3.649,66

1.384

271,26

4.

PT. Wanamukti Wisesa

10.000

3.498,00

3.848,00

1.410

650,40

Jumlah I

35.730

12.587,63

13.987,63

5.889

2.401,18

III

HTI PATUNGAN NON TRANS

1.

PT. Sylva Inhutani Lampung

43.100

22.967,11

22.967,11

1.525

-

2.

PT. Dyera Hutan Lestari

8.000

3.713,00

3.713,00

1.760

-

3.

PT. Samhutani

39.125

10.924,50

11.064,76

5.146

-

4.

PT. Musi Hutan Persada

296.400

193.500,00

196.835,00

16.183

14.479,00 )1

5.

PT. Tunas Bentala

13.288

1.300,00

1.300,00

850

-

6.

PT. Arangan Hutani Lestari

9.400

818,00

818,00

-

-

7.

PT. Dharma Hutan Lestari

40.210

4.031,89

4.031,89

-

- )2

Jumlah II

449.523

237.254,50

240.729,76

25.464

14.479,00

Jumlah I + II

485.253

249.842,13

254.717,39

31.353

16.880,18

Sumber : PT. INHUTANI V
Keterangan :

  • *) Akibat adanya klaim masyarakat dan kebakaran maka tanaman yang ada menjadi seluas 23.416,53 Ha
  • )1 Termasuk Realisasi Tanaman Daur Kedua
  • )2 Seluruh areal telah dijarah oleh masyarakat dan saat ini perusahaan sedang dalam proses likuidasi

II.12. LUAS AREAL PERUM PERHUTANI

Luas areal Kerja Perum Perhutani s/d Agustus 2001 adalah 2.800.636 ha (tidak termasuk kawasan PHPA seluas 439.338 ha) yang terdiri dari Hutan Produksi 1.936.138 ha dan Hutan Lindung 631.445 ha.

Luas areal Perum Perhutani berdasarkan unit :

  • Unit I (Jateng) 25%
  • Unit II (Jatim) 44%
  • Unit III (Jabar) 31%

No. U N I T

Fungsi Hutan

Jumlah

Produksi (Ha)

Lindung (Ha)

1

2

3

4

5

1

Unit I Jawa Tengah

571.182

75.538

646.720

2

Unit II Jawa Timur

812.890

315.505

1.128.395

3

Unit III Jawa Barat

552.066

240.402

792.468

Jumlah

1.936.138

631.445

2.567.583

(Sumber : Perum Perhutani)


Link ke menu Bina Produksi Kehutanan